Dua Pejabat  yang Dimarahi Presiden Berbeda, Siapakah Mereka?

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM) -Sejarah panjang Indonesia mulai dari era colonial Belanda, pergerakan, revolusi hingga merdeka serta pergantian orde menjadikan banyak catatan sejarah ditoreh bangsa ini. Namun tidak semua sejarah atau peristiwa tercatat dalam sejarah yang diajarkan kepada siswa berbagai tingkatan. Beruntung, berkat tulisan biografi maupun autobiografi yang dituangkan dalam buku membuat cerita atau kisah menarik itu bisa dinikamti publik. Berikut cerita mengandung nuansa sejarah itu.   

    Jakarta, 13 Maret 1966. Hari itu, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie baru saja tiba di kediaman Mayor Jenderal Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. Maksud hati ingin bertemu dengan panglima Kostrad tersebut, namun di ruangan tamu dia justru menemukan Wakil Perdana Menteri II J. Leimena.

   "Babe (Bapak) cerita, dia kaget. Lalu bertanya apa yang dilakukan Pak Leimena di rumah Pak Harto?" ungkap Kikie Adjie, salah satu putra Ibrahim Adjie.

    Tanpa diminta, Leimena menuturkan jika dia ditugaskan Presiden Sukarno untuk memberikan surat susulan, terkait Surat Perintah Sebelas Maret yang dua hari sebelumnya sudah dikeluarkan Bung Besar (panggilan akrab Sukaro di lingkungan terdekatnya).

    Surat susulan itu sendiri berisi perintah 'Untuk kembali kepada pelaksanaan Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi/Mandataris MPR/ Pemimpin Besar Revolusi, dengan arti: melaksanakan secara teknis saja serta tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis.'

 

    "Bung Karno marah besar karena dengan Supersemar itu, hal pertama yang dilakukan Soeharto adalah membubarkan PKI," ujar Leimena seperti dilansir merdeka.com.

   "Kenapa harus marah? Siapa yang membubarkan PKI?" tanya Adjie seperti dikisahkan dalam Pikiran Rakyat, 7 Oktober 1989.

"Ya Jenderal Soeharto," jawab Leimena.

   "Lha bagaimana? Betul Soeharto yang membubarkan PKI, tapi kan dia melakukannya berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret," kata Panglima Kodam Siliwangi itu.

Ibrahim Adjie Bubarkan PKI

Adjie bisa memahami tindakan yang dilakukan Soeharto. Empat bulan sebelumnya, dia malah sudah terlebih dahulu membekukan kegiatan PKI di Jawa Barat. Pembekuan tersebut tentunya bukan tanpa alasan yang kuat, terutama dari sisi keselamatan jiwa orang-orang PKI.

  Usai meletusnya peristiwa 30 September 1965, di Jakarta mulai marak aksi-aksi pengganyangan terhadap PKI. Pada 10 Oktober 1965, kantor CC PKI yang beralamat di Jalan Kramat Raya no.81 dibakar massa anti-komunis. Orang-orangnya diburu, disiksa dan bahkan dibunuhi.

   Hal yang sama terjadi pula di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Dalam waktu yang sangat singkat, tiba-tiba saja jutaan pengikut komunis di Indonesia menjadi musuh masyarakat nomor satu.

  Situasi tersebut tentu saja membuat Ibrahim Adjie dan Gubernur Mashudi waswas. Baru saja pada 1962, masyarakat Jawa Barat lepas dari perang saudara dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), apakah harus lagi berhadapan dengan kekerasan? Demikian pikir Adjie dan Mashudi saat itu.

 

Merasa tidak tega lagi memberikan situasi yang berdarah-darah kepada masyarakat Jawa Barat, Adjie dan Mashudi lantas membuat keputusan yang sangat krusial: membubarkan PKI di Jawa Barat.

   "Melalui briefing di Aula Kodam VI pada 17 November 1965, Pangdam VI/Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie di hadapan para wakil partai politik dan organisasi­organisasi massa mengumumkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya," tulis buku Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya (disusun oleh Pusat Sejarah TNI).

Kemarahan Sukarno

Akibat keputusan itu, Ibrahim Adjie mengalami nasib yang sama seperti Soeharto. Dia lantas dipanggil Presiden Sukarno ke Istana Bogor. Di hadapan 'anak kesayangannya' itu, Bung Besar menumpahkan rasa kecewa dan marahnya.

  "Itu hak prerogatif presiden, bukan wewenangmu, Djie!" ujar Sukarno.

  "Tapi saya bertanggungjawab terhadap rakyat Jawa Barat, Pak. Dengan membubarkan PKI, maka saya dapat 'melindungi' para anggotanya dari amukan masyarakat," jawab Adjie.

  Bung Karno tetap tak terima. Dia kembali menyatakan bahwa 'kesalahan segelintir pimpinan PKI, tidak berarti menjadikan partai-nya menjadi salah'.

   Sebaliknya, Adjie pun ngotot merasa telah berbuat benar. Perdebatan pun tak menemui ujung. Mereka berdua akhirnya berpisah dalam situasi yang tidak mengenakan.

  Beberapa bulan setelah kejadian itu, Adjie kemudian naik pangkat menjadi letnan jenderal. Namun kenaikan itu dibarengi penugasan dari presiden untuk menjadi duta besar di Inggris. Sebagai tentara, tanpa banyak pertimbangan, Adjie menerima tugas itu dengan lapang dada.

Benny Moerdani Colek Harmoko

Sore hari pada Oktober 1985. Menteri Penerangan Harmoko dipanggil menghadap Presiden Soeharto ke jalan Cendana untuk membicarakan persoalan surat kabar Sinar Harapan.

   Pertemuan tersebut juga dihadiri Menteri Sekretaris Negara Sudharmono dan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Baru saja Harmoko duduk, Presiden Soeharto sudah langsung menunjukkan koran Sinar Harapan kehadapannya.

   "Saudara Harmoko sudah baca ini?" tanya Soeharto seperti ditulis dalam Autobiografi Harmoko: Bersama Rakyat Ke Gerbang Reformasi.

   Harmoko menjawab pertanyaan Soeharto dengan penuh keyakinan. Setelahnya, dia menceritakan semua duduk permasalahan yang terjadi mengenai surat kabar tersebut. Namun, belum selesai Harmoko menjelaskan persoalannya Presiden Soeharto langsung memberi instruksi.

  "Ya, tapi cara begini tidak bisa. Ini sudah menyalahi UU pers. Selesaikan sesuai peraturan, ditutup!" tegas Soeharto kepada Harmoko.

  Mendengar itu Harmoko merasa tidak enak hati untuk langsung mengiyakan. Terlebih, latar belakangnya sebagai seorang wartawan. Sehingga dia paham betul apa yang akan dirasakan kawan-kawan wartawan apabila surat kabar tempat mereka berteduh ditutup.

  Harmoko menoleh kepada Panglima ABRI Jenderal Benny. Dia berharap sang Jenderal bantu meyakinkannya tentang yang dikatakan. Sang Jenderal memberikan isyarat dengan mencolek-colek tanda bahwa Harmoko harus mengiyakan saja perintah dari pimpinan.

   "Baik. Kalau itu memang sudah keputusan Bapak, selaku pembantu Bapak, saya akan melaksanakannya," kata Harmoko dengan berat hati.

   Setelah Harmoko mengucapkan itu, Sang Jenderal ABRI memberi anggukan untuk meyakinkan Harmoko bahwa yang dia lakukan sudah tepat dan benar.

 

 "Sudahlah Pak Harmoko, laksanakan saja. Ini perintah," Bisik Jenderal ABRI Benny Moerdani.

Solusi ala Harmoko

Harmoko yang berlatar belakang pers tentunya merasa keberatan. Perintah untuk menutup suatu surat kabar bukan hal yang mudah. Karena dia tahu, di balik satu nama surat kabar banyak orang-orang yang bergantung di dalamnya, para wartawan, karyawan penerbitan dan percetakan, serta para keluarganya.

   Malam hari, Harmoko mengundang pengelola Sinar Harapan, Rorimpandey dan Subagyo. Hadir pula Jakob Oetama sebagai perwakilan Dewan Pers untuk membicarakan kelanjutan dari persoalan Sinar Harapan.

    Dengan berat hati Harmoko memberitahukan bahwa SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) Sinar Harapan atas perintah Presiden Soeharto harus dilaksanakan.

   Tetapi di samping itu, Harmoko tidak ingin surat kabar tersebut ditutup. Harmoko meminta para pemimpin Sinar Harapan segera membentuk wadah baru demi para wartawan dan karyawan.

   "Tolong, usahakan bikin wadah baru. Deppen akan memberi SIUPP. Mulai sekarang, coba dipikirkan siapa yang akan menjadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi di media baru nanti," usul Harmoko.

   Usulan Harmoko tersebut dilaksanakan, Sinar Harapan membuat wadah baru menjadi Suara Pembaruan dengan Albert Hasibuan sebagai pemimpin umum.

   Pencabutan SIUPP yang dilakukan oleh Presiden Soeharto terhadap surat kabar Sinar Harapan dikarenakan tulisan-tulisan yang dimuat di dalamnya. Sinar Harapan dengan vokal memberitakan mengenai kebijakan ekonomi negara. Tajuk berita utamanya berjudul 'Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor'.

   Berita tersebutlah yang kemudian membuat pemerintahan Soeharto gerah dan 'menutup paksa' surat kabar Sinar Harapan. Karena pemerintah tidak menginginkan masyarakat